Senin, 15 Oktober 2018

BELAJAR SANTUN DAN MEMAAFKAN

Laki-laki itu menuntun seekor unta dengan kasar. Tangannya menarik tali kekang untanya dengan keras, sementara mulutnya tak pernah berhenti memaki si unta. Nampaknya si unta menahan sakit, terlihat sebelah matanya keluar dari kelopaknya sampai menempel di pipinya. Sebelah wajah si unta telah basah oleh aliran darah.
Kejadian di siang bolong itu menggemparkan penduduk Bashrah. Mereka geleng kepala melihat sosok laki-laki itu dan unta yang diseretnya. Sangat kontras. Betapa tidak, sedangkan nilai laki-laki yang menyeret unta dengan unta yang diseret itu jauh tidak sebanding. Jangan keliru, unta itu adalah unta kesayangan pemiliknya. Adapun laki-laki yang menyeretnya bukanlah pemilik unta, tapi seorang budak miliki si pemilik unta!
Kontan saja masyarakat Basrah satu sama lain saling berbisik, "Wah, hari ini tamat sudah riwayat budak tak tahu diri ini."

Kegaduhan di depan sebuah rumah di kota Basrah itu mengundang si pemilik rumah untuk keluar ke halaman. Begitu ia keluar rumah, di hadapannya sudah berkerumun banyak orang. Para tetangga, budak miliknya dan unta kesayangannya dalam kondisi mengenaskan. Orang yang baru saja keluar dari dalam rumah itu memang pemilik si unta dan tuan dari si budak penyeret unta.
Dalam kondisi seperti itu, seorang tuan tentu wajar apabila marah dan naik pitam. Tentu biasa apabila seorang tuan membentak budaknya dan mencercanya dengan rentetan pertanyaan. Kenapa engkau berteriak-teriak dan memaki-maki? Kenapa mata unta kesayanganku sampai keluar dari kelopaknya? Siapa yang mencederai unta kesayanganku? Bagaimana kamu menjaga unta kesayanganku? Dan pertanyaan-pertanyaan dengan nada menyalahkan lainnya.

Di luar dugaan si budak dan para tetangga yang mengerumuninya, si tuan pemilik unta kesayangan itu memberikan reaksi yang sangat mengejutkan. Kalimat yang diucapkannya sungguh luar biasa. Dengan tenang dan penuh wibawa, tuan si budak sekaligus pemilik unta kesayangan itu mengatakan:

"Subhanallah (Maha Suci Allah). (Jika engkau memukul) kenapa tidak pada selain wajah? Semoga Allah memberkatimu, pergilah engkau dariku dan saksikanlah oleh kalian semua bahwa ia aku merdekakan!"
Sungguh jawaban yang hebat. Tidak ada caci maki, bentakan dan emosi sedikit pun dalam kalimat yang keluar dari mulutnya. Ia juga tidak melayangkan tangannya untuk memukul budaknya, atau melayangkan kakinya untuk menendangnya, apalagi memuntahkan ludahnya ke wajah budaknya.
Kalimat yang pertama keluar dari mulutnya justru kalimat dzikir yaitu tasbih, subhanallah. Kalimat kedua adalah sebuah pengajaran: jika terpaksa harus memukul, hendaknya memukul di daerah selain wajah dan jangan sampai melukai. Kalau terpaksa harus memukul, hendaknya pukulan ringan sebagai peringatan dan nasehat, bukan pukulan pelampiasan dendam.

Kalimat ketiga adalah sebuah doa bagi si budak yang telah berbuat salah itu, baarakallahu fiika, semoga Allah memberkahimu. Kalimat keempat adalah kedermawanan, ia memerdekakan si budak yang berbuat salah tersebut secara cuma-cuma, tanpa tebusan dan syarat apapun, detik itu juga, dan seluruh tetangga yang berkerumun di depan rumah itu menjadi saksinya.

Anda mungkin bertanya-tanya dalam hati, apakah kisah di atas sebuah cerita fiktif belaka ataukah benar-benar pernah terjadi? Jika memang kejadian nyata, siapa sosok si tuan yang penyabar, penyantun, pemaaf dan dermawan tersebut?

Kisah di atas benar-benar pernah terjadi tiga belas abad yang lalu di kota Bashrah. Si tuan pemilik budak dalam kisah di atas adalah seorang ulama dan ahli ibadah generasi tabi'in yang sangat dibanggakan oleh dunia Islam pada zamannya. Ia adalah imam Abdullah bin Aun bin Arthaban Al-Muzani. Beliau dilahirkan pada tahun 66 H di kota Bashrah dan wafat pada bulan Rajab 151 H. Unta kesayangan itulah yang senantiasa mengantarkannya ke medan jihad di bumi Syam dan haji ke baitullah di Makkah.

Ulama hadits dan sejarawan Islam, imam Adz-Dzahabi menulis tentang sosok imam Abdullah bin Aun, "Al-imam (sang ulama), al-qudwah (sang teladan), ulama Bashrah, Abu Aun maula suku Muzani, orang Bashrah, al-hafizh (ulama hadits yang hafal puluhan ribu hadits). Ia adalah salah seorang ulama yang memadukan ilmu dan amal." (Siyar A'lam An-Nubala', 6/365-366)

Kedalaman ilmunya diakui oleh para ulama besar generasi tabi'in dan tabi'it tabi'in. Imam Al-Awza'i, Syu'bah bin Hajjaj, Abdurrahman bin Mahdi, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Ma'in dan lain-lain mengakuinya sebagai salah satu ulama hadits, tafsir, qira'ah dan fiqih paling hebat di Irak pada masanya.
Kesungguhan ibadahnya, penjagaan lisannya, kesantunan, pemaafan dan kedermawanannya juga diakui oleh semua penduduk Bashrah.

Al-Qa'nabi berkata, "Ibnu Aun tidak pernah marah. Jika ada seseorang yang membuatnya marah, ia hanya berkata: "Semoga Allah memberkatimu."

Salam bin Abi Muthi' berkata, "Ibnu Aun adalah orang yang paling bisa menjaga lisannya."
Kharijah bin Mush'ab berkata, "Aku telah menemani Ibnu Aun selama 24 tahun. Selama itu aku tidak pernah melihat malaikat (layak) mencatat satu kesalahan pun bagi dirinya." (Siyar A'lam An-Nubala', 6/366)

Sifat-sifat mulia itu tidak heran disandang oleh imam Abdullah bin Aun. Dalam hidupnya ia memegang erat nasehatnya sendiri, "Menyebut-nyebut manusia itu adalah penyakit, adapun menyebut-nyebut Allah (dzikir) itu adalah obat."

Lembaran kehidupannya sungguh penuh dengan catatan ilmu dan amal. Imam Adz-Dzahabi meringkas komentarnya tentang imam Abdullah bin Aun dengan menulis, "Sungguh Ibnu Aun telah dikaruniai sifat santun dan ilmu dan jiwanya suci membantu dirinya untuk menjadi orang yang bertakwa. Sungguh beruntunglah ia." (Siyar A'lam An-Nubala', 6/369)

Banyak hikmah bisa kita petik dari kehidupan imam Abdullah bin Aun Al-Muzani, jika saja kita menyempatkan diri untuk mengkaji secara lengkap kehidupan beliau dan merenungkannya. Sengaja kita hanya mencuplik sepenggal kisah nyata dari kehidupan beliau, agar kita bisa belajar menumbuhkan sifat santun, pemaaf dan dermawan di bulan suci Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan Allah ini.
Puasa di bulan Ramadhan bukan sarana untuk membiasakan lapar dan dahaga semata. Ia juga merupakan sarana untuk mengendalikan emosi dan hawa nafsu agar sejalan dengan tuntunan wahyu Allah. Kemarahan, dendam, iri hati, dengki, sombong, dan penyakit-penyakit hati lainnya harus disucikan. Sifat-sifat utama seperti pemaaf, penyantun dan dermawan harus ditumbuhkan dan dibiasakan.
Jika hal itu berhasil dilakukan oleh orang yang berpuasa Ramadhan, niscaya kehidupan di luar bulan Ramadhan akan lebih indah dan penuh warna. Sifat-sifat utama tersebut adalah cirri-ciri utama kaum yang bertakwa, sementara tujuan finish berpuasa adalah mengantarkan kepada derajat takwa. Maha Benar Allah dengan firman-Nya,

            

Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran [3]: 133-134)

Allah Ta'ala juga telah menjanjikan balasan yang sangat menggiurkan dan janji Allah tidak pernah diingkari-Nya,

                
Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal. (QS. Ali Imran [3]: 136)


Belajar Metamorfosis Dari Kupu-Kupu

Di suatu pagi yang cerah, saya duduk menyendiri di sebuah taman yang dipenuhi berbagai
macam tanaman bunga. Saya menghela nafas dalam-dalam sambil menikmati suasana sekitar
yang hening. Tiba-tiba pandangan saya terhenti oleh keindahan seekor kupu-kupu yang
sedang hinggap di sekuntum bunga. Kupu-kupu itu terlihat sangat elok rupawan dengan
sayap yang warna-warni. Sungguh indah Tuhan menciptakan hewan kecil ini dengan
kombinasi warna yang sangat serasi.
Kupu-kupu itu hinggap di setangkai kuntum bunga cukup lama untuk menghisap madunya,
kemudian hinggap di kuntum bunga yang lain, begitu seterusnya. Terkadang datang kupu-kupu lain yang tak kalah cantiknya, seolah mereka bertutur sapa, kemudian berlomba
menghisap sari bunga. Mereka terlihat riang menjalani hidupnya masing-masing.
Melihat kupu-kupu tadi, saya jadi teringat asal mula kupu-kupu yang indah tersebut.
Bukankah dia yang kini terlihat elok rupawan dan memukau banyak mata, dulunya adalah
seekor ulat yang untuk sebagian orang merasa jijik jika melihatnya. Bahkan ada sebagian
wanita yang akan berteriak ketakutan bila melihat makhluk berbulu ini didekatnya. Kesannya
mungkin takut, jijik, atau bahkan alergi. Tapi toh, setelah berubah rupa menjadi kupu-kupu
yang cantik, siapa sih yang nggak suka melihatnya???
Ternyata setelah melihat sejarah hidupnya, kupu-kupu yang cantik itu telah melewati berbagai
tahap kehidupan yang mengantarkannya pada sosok yang sekarang ini. Dulunya ia hanya
seekor ulat yang buruk rupa, hidupnya merayap di dahan dan dedaunan, dan kalau tidak
beruntung hidupnya berakhir dimakan burung atau serangga pemangsanya.
Setelah matang menjalani kehidupan sebagai ulat, ia pun mencari tempat yang aman dan
berubah menjadi kepompong. Badannya terbujur kaku menggantung di dahan atau dedaunan.
Ia tak peduli walau siang hari panas terik menyengatnya dan malam hari dingin menusuknya.
Bahkan tak jarang hujan dan badai menerpanya. Ia tetap kokoh ditempatnya bersemedi untuk
berubah menjadi diri yang baru, diri yang penuh pesona keindahan.
Beberapa waktu kemudian, akhirnya keluarlah ia dari kepompongnya menjadi diri yang sama
sekali baru, indah memukau dengan sayap barunya dan tubuh yang cantik, jauh beda dari
wujudnya semula. Dan kini ia telah memiliki keahlian baru, yakni bisa terbang! Lalu ia pun
terbang berkelana mencari kuntum-kuntum bunga yang indah untuk menghisap sari bunga
dan menebarkan telur-telur penerus kehidupannya.
Begitulah metamorfosis seekor kupu-kupu; dari telur ia menetas jadi ulat, dari ulat ia
menempa diri dalam kepompong, dan dari kepompong lalu lahirlah kupu-kupu yang indah
menawan. Tahap kehidupannya ia jalani dari generasi ke generasi tanpa ada satu tahap pun
yang dapat ia lompati. Tak ada seekor kupu-kupu mana pun yang langsung menetas dari
telur, melainkan keluar dari kepompongnya.
Demikianlah, kadang kita ingin menjadi kupu-kupu yang indah, tapi kita tidak mau jadi ulat
yang buruk rupa, tidak sanggup menjalani kehidupan kepompong yang tak berdaya. Maunya
langsung jadi sesuatu yang indah, memukau, mengagumkan dan jadi pusat perhatian banyak
orang, langsung jadi kupu-kupu!

Perubahan Diri

Maka sahabat, kalau kita ingin jadi kupu-kupu yang cantik, sanggupkah kita menjalani
metamorfosis kehidupan?? Metamorfosis itu sendiri bisa dimaknai sebagai perubahan yang
dahsyat atau perubahan besar dalam sifat.
Untuk menjadi kupu-kupu yang cantik penuh pesona, sanggupkah kita menjalani ketertatihan
sebagai ulat yang buruk rupa, kadang dihina dan dijelek-jelekkan? Di saat tak ada yang
menghargai, mendukung atau menolong kita, tapi kita harus tetap melangkah dan
terus melangkah karena kita yakin tujuan akhir perjalanan ini.
Kuatkah kita menghadapi berbagai tempaan dan cobaan, derita dan kesendirian dalam
kepompong yang tak berdaya dan memintal benangnya sendiri? Bersabar dalam tempaan
hidup, cobaan dan godaan, menjalani proses dengan sebaik-baiknya sebelum kita akhirnya
lahir menjadi diri yang baru, diri kita yang sesungguhnya, diri yang indah dan menebarkan
keindahan di mana pun kita berada.
Sahabat yang budiman, tiada sukses yang didapat dengan mudah. Semua perlu
proses; semua butuh keuletan, kesabaran dan ketabahan dalam menjalani tahap-tahap sebelum sampai pada puncak kehidupan.
Tidak ada yang akan merubah diri dan keadaan kita melainkan diri kita sendiri.
Dalam kitab suciNya Tuhan berfirman. "Sesungguhnya Alloh tidak merubah keadaan
suatu kaum sehingga mereka merubah keadan yang ada pada diri mereka sendiri."
Jangan lupa untuk berdoa, memohon petunjuk dan pertolongan pada Tuhan Yang
Maha Kuasa lagi Maha Mengabulkan Permohonan hamba-Nya.
Mari kita jalani setiap tahap dan episode hidup ini dengan penuh kearifan, kita tekadkan untuk
terus berubah menjadi lebih baik, sehingga akhirnya kita bisa bermetamorfosis menjadi
pribadi yang sukses bagaikan kupu-kupu penghias taman. Menjadi teladan yang baik bagi
umat manusia!
Selamat bermetamorfosis, menjadi manusia yang luar biasa!

Orang Bertaqwa Tidak Pernah Merasa Miskin

Berikut pelajaran berharga yang kami peroleh dari penjelasan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah). Semoga bermanfaat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,
{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rizki. Rizki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rizki yang dimaksud di sini adalah rizki dunia dan rizki akhirat.
Sebagian orang mengatakan, “Orang yang bertakwa itu tidak pernah merasa fakir (miskin atau merasa kekurangan) sama sekali.” Lalu ada yang bertanya, “Mengapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Karena Allah Ta’ala berfirman:
{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)”
Kemudian ada yang bertanya kembali, “Kami menyaksikan sendiri bahwa di antara orang yang bertakwa, ada yang tidak punya apa-apa. Namun memang ada sebagian lagi yang diberi banyak rizki.”
Jawabannya, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang bertakwa akan diberi rizki dari jalan yang tak terduga. Namun ayat itu tidak menunjukkan bahwa orang yang tidak bertakwa tidak diberi rizki. Bahkan setiap makhluk akan diberi rizki sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” (QS. Huud: 6). Bahkan hamba yang menerjang yang haram termasuk yang diberi rizki. Orang kafir tetap diberi rizki padahal rizki itu boleh jadi diperoleh dengan cara-cara yang haram, boleh jadi juga dengan cara yang baik, bahkan boleh jadi pula diperoleh dengan susah payah.
Sedangkan orang yang bertakwa, Allah memberi rizki pada mereka dari jalan yang tidak terduga. Rizkinya tidak mungkin diperoleh dengan cara-cara yang haram, juga tidak mungkin rizki mereka dari yang khobits (yang kotor-kotor). Perlu diketahui bahwa orang yang bertakwa tidak mungkin dihalangi dari rizki yang ia butuhkan. Ia hanyalah dihalangi dari materi dunia yang berlebih sebagai rahmat dan kebaikan padanya. Karena boleh jadi diluaskannya rizki malah akan membahayakan dirinya. Sedangkan disempitkannya rizki malah mungkin sebagai rahmat baginya. Namun beda halnya dengan keadaan manusia yang Allah ceritakan,
{ فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ } { وَأَمَّا إذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ } { كُلًّا }
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak (demikian).” (QS. Al Fajr: 15-16)
Senyatanya tidak demikian. Belum tentu orang yang diluaskan rizkinya, ia berarti dimuliakan. Sebaliknya orang yang disempitkan rizkinya, belum tentu ia dihinakan. Bahkan boleh jadi seseorang dilapangkan rizki baginya hanya sebagai istidroj(agar ia semakin terlena dengan maksiatnya). Begitu pula boleh jadi seseorang disempitkan rizkinya untuk melindungi dirinya dari bahaya. Sedangkan jika ada orang yang sholih yang disempitkan rizkinya, boleh jadi itu karena sebab dosa-dosa yang ia perbuat sebagaimana sebagian salaf mengatakan,
إنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
“Seorang hamba boleh jadi terhalang rizki untuknya karena dosa yang ia perbuat.”
Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكْثَرَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa yang memperbanyak beristighfar, maka Allah pasti akan selalu memberikannya jalan keluar dari setiap kesempitan dan kelapangan dari segala kegundahan serta Allah akan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka-sangka.”[1]
Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa kebaikan itu akan menghapus kejelekan, istighfar adalah sebab datangnya rizki dan berbagai kenikmatan, sedangkan maksiat adalah sebab datangnya musibah dan berbagai kesulitan. (Kita dapat menyaksikan hal tersebut dalam ayat-ayat berikut ini).
Allah Ta’ala berfirman,
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ (1) أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنَّنِي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ (2) وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira kepadamu daripada-Nya, dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya” (QS. Huud: 1-3)
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)
“Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-,niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
{ وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا } { لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ }
“Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya.” (QS. Al Jin: 16-17)
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96)
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka.” (QS. Al Maidah: 66)
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30)
وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS. Hud: 9)
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa’: 79)
{ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ } { فَلَوْلَا إذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ }
“Kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 42-43)
Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam kitabnya bahwa Dia akan menguji hamba-Nya dengan kebaikan atau dengan kejelekan. Kebaikan yang dimaksud adalah nikmat dan kejelekan adalah musibah. Ujian ini dimaksudkan agar hamba tersebut teruji sebagai hamba yang bersabar dan bersyukur. Dalam hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَقْضِي اللَّهُ لِلْمُؤْمِنِ قَضَاءً إلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدِ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya. Allah tidaklah menetapkan bagi seorang mukmin suatu ketentuan melainkan itu baikk baginya. Hal ini tidaklah mungkin kita jumpai kecuali pada seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa suatu bahaya, ia bersabar, maka itu pun baik baginya.”
Demikian penjelasan dari Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al Fatawa (16/52-54). Semoga bermanfaat dan dapat sebagai penyejuk hati yang sedang gundah.

Minggu, 14 Oktober 2018

Menumbuhkan Perasaan Kolektif


Seusainya perang Badar petugas logistik mengamati pejuang-pejuang Islam yang terluka. Sambil diobati juga diberikan makan atau minum yang dibutuhkannya. Saat sedang melayani orang-orang yang memerlukan bantuannya. Petugas ini mendengar ada suara orang yang meminta air karena rasa haus yang mencekik. Petugas tersebut mendatanginya. Namun ketika akan dituangkan pada mulut orang itu terdengar pula suara orang yang juga berhajat pada air. Lalu orang pertama yang membutuhkan air itu berujaar pada petugas logistik itu. “Berikan air itu padanya, dia lebih membutuhkannya ketimbang diriku!”. Maka petugas itu segera menemui orang kedua itu. Akan tetapi ketika akan diminumkan air, orang kedua ini mendengar ada arang lain yang juga membutuhkannya. Orang keduapun mengatakan, “Berikan air itu padanya dia lebih butuh daripada saya”. Petugas itupun segera mencari-cari sumber suara tadi. Rupanya orang ketiga yang membutuhkan air ketika ia jumpai sudah meninggal dunia. Secepat kilat peetugas itu mendatangi orang kedua tadi. Akan tetapi keduapun telah meninggal dunia. Iapun berlari menjumpai orang pertama. Begitupun orang pertama, ia dapati telah meninggal dunia.
Itulah kisah manusia yang diabadikan sepanjang sejarah. Mereka ditautkan oleh perasaan kolektif pada dirinya masing-masing. Perasaan bahwa saudaranya adalah dirinya. Merasa sakit apabila saudaranya sakit. Dan bahagia bila saudaranya bahagia. Saudaranya adalah cermin sejati bagi dirinya. Perasaan kolektif ini bagaikan saraf yang memadukan aneka ragam organ dalam tubuh. Dengan itu setiap organ mempunyai investasi pada satu gerakan organ lainnya.
Ukhuwah merupakan wujud perasaan kolektif dalam bermuamalah antar manusia. Ia menyatukan irama hati dari bermacam-macam orang. Ia akan menjadi harmonika yang merdu dalam sebuah simponi. Alunan simponi yang indah ini dapat menjadi suatu kekuatan besar dalam membangun umat.
Umar bin Khathab menangis terisak-isak tatkala ia mengetahui ada rakyatnya dirundung kelaparan. Umar mengangkat sendiri bahan pangan untuk rakyatnya yang sedang menderita.
Khalifah Sulaiman Al-Manshur tidak bisa berdiam diri ketika ia mendengar ada seorang muslimah yang teraniaya di Byzantium. Khalifah mengajak rakyat untuk membebaskan wanita tersebut.
Hasan Al-Banna memberikan sokongan yang besar atas perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonial Belanda. Al-Imam menerima kunjungan para diplomat Indonesia dengan antusias dan mengajak para pemimpin Mesir untuk turut mendukungnya. Demikianlah pengakuan M. Hasan Zein penulis Diplomasi Revolusi di Luar Negeri.
Itulah perasaan kolektif menjadi gelombang besar yang dapat menggerakkan sebuah kekuatan umat. Akan tetapi perasaan kolektif ketika manusia hidup dengan sikap dan gaya individualistik. Sikap ini menjadi barang langka yang jarang ditemukan.
Sikap individualistik mendorong manusia bersikap acuh tak peduli pada urusan orang lain. Bahkan pada urusan yang bersifat hidup matinya seseorang. Tidak mengherankan pada pergaulan masyarakat di hari ini tidak lagi mempedulikan apa yang dialami orang lain. Sebelah rumahnya sedang kesusahan ia tidak mengetahuinya. Tetangganya sedang merenggang nyawa ia tidak mendengarnya.
Tidaklah aneh saat ini apabila orang mengenal tetangganya bukan ketika bercengkerama di rumahnya, melainkan ia mengetahui tetangganya itu di tempat yang jauh dan terjadi pada kurun waktu yang cukup lama setelah bertetangga.
Dalam sebuah pesta besar, ada seorang pria terheran-heran pada kenalannya di pesta itu. Pasalnya, kenalan barunya itu adalah tetangga sebelah rumahnya. Padahal mereka telah lama hidup saling bertetangga. Aneh memang tapi begitulah gaya hidup masa kini.
Islam memandang buruk sikap demikian. Karena perasaan kolektif menjadi bukti keimanan. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjalin perasaan kolektif ini. Ia adalah nadi dari geliat umat ini
Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantaramu apabila tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Bagi kader dakwah perasaan kolektif ini tidak boleh berhenti denyutnya. Berhentinya akan berdampak pada lambannya mobilitas kader untuk mengemban tugas mulia. Juga akan kehilangan kendali arah sehingga alur roda itu berputar tanpa arah. Setiap kader wajib merawat dan meningkatkan perasaan kolektif ini agar ia tumbuh, berkembang dan berbuah.
Ukhuwah, Bahasa Amal
Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah menceritakan kisah tentang tukang sol sepatu yang menunda pergi hajinya karena uang yang dipersipakan untuk berangkat ke Baitullah Al-Haram diberikan pada tetangganya yang kelaparan. Namun banyak teman-temannya yang berangkat menunaikan ibadah haji melihat tukang sol sepatu itu berada di tanah suci. Dalam mimpi Ibnul Mubarak rahimahullah, tukang sol sepatu itulah orang yang termasuk diterima ibadah hajinya oleh Allah SWT.
Kisah diatas tentu bukan persoalan maqbulnya ibadah haji yang dilakukannya. Akan tetapi yang saya maksudkan disini adalah sikap arif tukang sol sepatu itu. Sikapnya yang penuh perhatian pada nasib tetangganya, nasib saudaranya sesama muslim. Ia rela menyerahkan harta yang ia kumpulkan dari jerih payahnya berbulan-bulan kepada saudaranya sesama muslim.
Begitulah bahasa amal. Ia merupakan amalan bukan sekedar teori. Artinya sikap itu dilakukan secara refleks tidak perlu kalkulasi yang amat teliti. Tukang sol sepatu itu tahu betul apa yang mesti diputuskan pada saat-saat yang tepat.
Ukhuwah adalah bahasa amal bukan bahasa teori atau konsep. Sikap ini pancaran kebiasaan yang berasal dari sinar keimanan. Sinar keimanan yang lahir dari pembiasaan watak dan prilaku para pemiliknya. Karena itu, sikap ini tidak dapat dihambat oleh berbagai kalkulasi material. Ia begitu lancar untuk bertindak cepat memutuskan pilihan-pilihan sulit baginya. Ia tidak mempedulikan keuntungan apa yang bakal diperoleh malah ia rela mendapatkan kerugian bagi dirinya asalkan saudaranya meraih kebahagian atas sikapnya. Subhanallah, teramat indah bahasa amal itu.
Dari Mana Kita Memulainya
Seorang teman berbinar-binar matanya menyiratkan rasa haru dalam hatinya. Ia mengatakan baru saja menerima telepon dari kawannya yang menanyakan kabar berita tentang diri dan keluarganya. “Saya senang dan terharu, sekian lama saya tidak pernah mendengar berita kawan saya. Tiba-tiba, kali ini dia menyampaikan kabar beritanya dan menanyakan keadaan saya. Rasanya tali yang putus kembali tersambung”. Ungkapnya gembira.
Bila kita melihat cerita pengalaman seorang teman tadi. Sepertinya sederhana sekali untuk menyambung lagi tali persaudaraan yang nyaris putus. Dengan menanyakan kabar teman di seberang telepon hubungan itu kembali hangat. Kehambaran itu sirna dengan segera.
Rasulullah SAW. memberikan resep sederhana untuk dapat mengikat kembali tali-tali yang putus hingga dapat menghimpun hati-hati yang retak. Beliau mengatakan: “Sebarkanlah salam, berikanlah makan dan dirikanlah shalat malam”. Resep ini memang terkesan sangat simple.
Pertama, menyebarkan salam. Dalam kegiatan ini bisa dijabarkan dengan bermacam-macam perlakuan, diantaranya bertanya bagaimana kabarnya, keluarganya, istri dan anaknya? Baik-baikkah mereka. Bagaimana mereka selama ini. Adakah yang sakit. Adakah yang mendapatkan musibah atau adakah diantara mereka yang telah dianugerahi Allah kebaikan yang dapat menyenangkan orang banyak. Dapat saling mendoakan keadaan masing-masing agar meraih kemudahan dalam menjalani aktifitas hariannya serta mendapatkan karunia dari Allah sehingga meredam rasa berat dalam menerima ujian dan cobaan hidup. Dan banyak lagi segudang ungkapan untuk memulai menyebarkan salam antar sesama kader.
Inti masalahnya adalah bagaimana menyebarkan salam itu menjadi sebuah media komunikasi antar sesama kader agar tetap terjalin dengan baik, sehingga mereka tidak kehilangan informasi dan kendali arah. Komunikasi yang harmonis dibangun atas dasar hubungan manusiawi yang utuh dari berbagai dimensi bukan pada hubungan formalitas apalagi hiasan bibir semata.
Menjalin komunikasi yang harmonis ini menjadi kebutuhan asasi masyarakat modern, karena dengan komunikasi ini manusia menemukan eksitensi dirinya sebagai makhluk yang multi dimensional. Makhluk yang dihargai oleh lingkungan sekitarnya. Saat ini banyak kita temukan orang yang kehilangan rasa, termasuk rasa dalam berkomunikasi ketika bergaul antar sesama. Makanya banyak orang berupaya mencari tempat kongkow-kongkow hanya sekedar mendapatkan sebuah tali komunikasi yang tidak diikat oleh formalitas kehidupan. Sehingga mereka bisa berbicara dan tertawa lepas yang selama ini tidak mereka temukan karena masih dirasakan terdapat dinding pembatas hati mereka.
Komunikasi yang harmonis bagi masyarakat barat amat mahal, karena selama ini mereka menjalani kehidupan ini secara mekanik. Melakoni satu babak kehidupan ke babak berikut bagai mesin yang rutin berputar. Tanpa seni yang menyentuh ruang hati manusia yang paling dalam. Kondisi ini membuat mereka berupaya untuk menemukan format baru dalam berkomunikasi dengan sesama. Diantaranya mereka mengadakan pasar loakan setiap hari libur sebagai sarana mereka berkomunikasi. Mereka bisa saling tawar menawar suatu harga barang yang selama ini mereka jualbelikan dengan mesin atau robot. Mereka dapat saling menyapa untuk menanyakan dimana tinggalnya, dari mana asalnya, sudah berapa lama tinggal di daerah itu dan sapaan lainnya. Dari saling menyapa itulah hubungan yang kaku diantara mereka mencair seketika, akhirnya mereka begitu akrab satu sama lainnya.
Abbas Asisi salah seorang murid Hasan Al-Banna selalu membuka komunikasi dengan banyak orang yang ia jumpai. Melalui komunikasi itulah ia membuka peluang dakwah di hati mitra bicaranya. Bahkan pernah ia kesulitan dengan apa memulai berkomunikasi kepada orang yang ada di hadapannya. Namun ia menemukan juga jalan ke arah itu. Yakni ia menginjak kaki orang tersebut sehingga orang itu memarahinya. “Apa matamu buta? mengapa kamu injak kaki saya”, hardik orang tersebut. Abbas Asisi menjawab, “Maaf tuan, mata saya memang rabun sehingga saya tidak begitu jelas melihatnya”. Dengan pengakuan itu orang tersebut malah meminta maaf atas ucapannya tadi lalu perbincangan akhirnya berlanjut pada tema-tema lainnya yang kemudian menyentuh tema-tema dakwah.
Begitulah mumpuninya komunikasi dalam bergaul antar sesama yang dapat meluluhkan hati-hati yang keras membatu. Orang bijak mengatakan, ‘berkomunikasilah karena ia seni kehidupan‘.
Seorang sahabat merasa tersanjung ketika Rasulullah SAW jalan beriringan di sampingnya sambil beliau menanyakan keadaannya. Sikap ini menunjukkan betapa manisnya pergaulan yang dilakukan Rasulullah SAW. kepada sahabatnya begitupun sebaliknya.
Media berkomunikasi saat ini sangat banyak apalagi kemajuan teknologi dapat menunjang pelaksanaannya. Berkomunikasi dapat dilakukan melalui silaturrahmi atau mengunjunginya. Dengan mengunjungi kita dapat menuangkan berbagai suasana hati. Dapat saling bertatap muka, saling bertegur sapa dan saling mengekspresikan ruat wajah yang dapat disaksikan oleh mitra bicara.
Berziarah atau mengunjungi saudaranya yang muslim merupakan sebagian tanda keimanan. Karena ia adalah hak sesama muslim. Dengan mengunjungi kita dapat berkomunikasi dan berbagi perasaan, pengalaman, pelajaran serta berbagi lainnya.
Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia silaturrahim”. (H.R. Muslim)
Dan komunikasi dapat pula dilakukan lewat piranti teknologi canggih sekarang ini, bisa melalui telepon, internet, email, surat atau media-media lainnya.
Kedua, memberi makan (hadiah). Hadiah pertanda penghargaan dan kasih sayang. Ia wujud atensi yang dalam. Karenanya hadiah jangan dipandang dari nilai nominalnya akan tetapi lihatlah bahwa adalah ekspresi kecintaan.
Rasulullah SAW. bersabda: “Salinglah berbagi hadiah niscaya kalian akan saling mencintai”. (H.R. Tirmidzi)
Hadiah sebagai media mengungkapkan kata hati pada seseorang dalam kondisi tertentu. Maka tidaklah naif memberikan hadiah yang sepertinya tidak begitu bernilai. Sebab ia adalah bentuk visualisasi dari atensi yang besar. Oleh karena itu tidak perlu merasa malu untuk memberikan hadiah yang tidak mewah atau mahal. Malah dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ada seorang sahabat Nabi SAW. yang memberikan hadiah berupa sekerat kurma kepada saudaranya, Nabi SAW. mendengar berita itu tersenyum bahagia. Duhai mulianya ia yang mau memberikan hadiah meski kondisi hidupnya dalam kesulitan.
Memang alangkah bagusnya bila mampu memberikan hadiah yang menarik serta bernilai lebih. Apalagi hadiah yang diberikan kepada saudaranya sangat ia sukai.
Firman Allah SWT.
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Ali Imran: 92)
Ketiga, melaksanakan shalat malam (doa). Persoalan hati manusia adalah persoalan yang penuh misteri. Hati merupakan ruang yang luas lagi dalam. Ia bagaikan samudera lepas. Sedikit sekali manusia yang dapat menyelami samudera hati.
Muamalah antar manusia juga bagian dari gerakan hati. Ia akan terkait tatkala hatinya sudah tertambat. Ia akan terurai ketika hatinya liar. Permasalahannya tampaknya rumit dan jelimet. Akan tetapi menjadi sederhana ketika conecting langsung pada pemiliknya. Dialah Allah Pemilik hati manusia yang mampu membolak-balikan gerakan hati secara dratis.
Menjalin hubungan langsung pada si Empunya hati manusia secara rutin dapat menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu menghimpun aneka ragam hati manusia. Bahkan Dia dapat mengendalikan hati-hati yang liar. Hubungan dengan Sang Penakluk Hati diantaranya dapat diwujudkan dengan panjatan doa untuk diri dan saudaranya.
Doa menjadi media perantara untuk merajut hati yang retak. Melancarkan sumbatan-sumbatannya. Untuk mencapai sasaran tersebut, Hasan Al-Banna mengajak para pengikutnya untuk membaca doa Rabithah selepas mengikuti majelis pertemuannya. Sebagai upaya mendayagunakan kekuatan doa untuk mengikat dan menyatukan hati manusia. Disamping itu agar hati yang kering lagi tandus menjadi basah dan subur.
Semua resep sederhana di atas akhirnya berpulang pada satu kalimat. Ibda’ binafsik. Mulailah dari darimu sendiri. Artinya setiap individu segera untuk memulainya, menjadi pelopor. Tidak perlu menunggu orang lain memberi aba-aba untuk memulainya. Apalagi menanti siapa yang akan memulainya. We are first begining. Wallahu a’lam.

Kamis, 11 Oktober 2018

Dasar-Dasar Islam / Tazkiyatun Nufus

Ramadhan yang Membekas

Sejatinya pasca Ramadhan kita diharapkan istiqamah dan mampu serta terbiasa dengan melakukan berbagai ibadah dan amal shalih selama sebelas bulan ke depan. Semangat Ramadhan membekas dalam diri kita. Inilah tanda kesuksesan Ramadhan kita. Bulan Ramadhan kita telah mentraining kita secara fulltime 30 hari berturut-turut untuk melakukan berbagai aktivitas ibadah dan amal shalih. Tujuannya, agar kita menjadi orang yang bertaqwa sepeninggalnya Ramadhan.
Baca selengkapnya »

Tadarus Al-Quran

Tadarus Al-Quran adalah aktivitas interaksi terhadap Al-Quran, baik dengan membacanya, memahaminya, mengkhatamkannya, mendengarnya, mentadaburinya, menghafalnya dan mempelajarinya. Selama ini tadarus dipahami hanya sebatas membaca dan mengkhatamkan Al-Quran. Semua aktivitas yang berkaitan dengan Al-Quran ini bertujuan untuk mengamalkan Al-Quran. Maka sangatlah keliru bila seseorang mengklaim dirinya mengamalkan Al-Quran tanpa membaca, memahami dan mempelajarinya.
Baca selengkapnya »

Meraih Keutamaan Bulan Ramadhan

Begitu banyak keutamaan dan kelebihan yang dimiliki oleh Ramadhan sehingga Rasulullah saw memberi gelar kepada bulan Ramadhan dengan sebutan sayyid asy-syuhuur (penghulu segala bulan). Oleh karena itu, perbanyaklah ibadah dengan semaksimal mungkin di bulan Ramadhan ini sesuai dengan petunjuk Nabi Saw, agar kita dapat meraih berbagai keutamaan yang disediakan Allah Swt pada bulan yang mulia ini.
Baca selengkapnya »

Tiga Penyelamat dan Tiga Perusak

Rasulullah SAW berkata, “Ada tiga hal yang menyelamatkan dan tiga hal yang merusak. Yang menyelamatkan adalah takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, berkata benar (adil) dalam kondisi ridha maupun marah, dan bersikap sederhana dalam keadaan kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak adalah bakhil yang kelewatan, nafsu yang diikuti, dan menyombongkan diri sendiri.” (HR Baihaqi).
Baca selengkapnya »

Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari

Suatu hari Rasulullah SAW bertanya, “Siapa di antara kamu yang berpuasa hari ini?”. Abu Bakar RA menjawab: “Aku”. Rasulullah SAW bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang telah mengikuti pemakaman hari ini?” Abu Bakar RA berkata: “Aku”. Rasulullah SAW berkata lagi, “Siapa di antara kalian yang memberi makan orang miskin hari ini?”. Abu Bakar berkata lagi, “Aku”. Rasulullah SAW bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang menjenguk orang sakit hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Aku”. Rasulullah SAW kemudian berkata, “Jika terkumpul seluruh amalan pada seseorang (seperti ini), niscaya ia akan masuk surga”.
Baca selengkapnya »

Merindukan Hujan

Saat mendatangi shalat istisqa, jamaah shalat boleh membawa binatang-binatang ternak dan diwajibkan menunjukkan kesederhanaan di hadapan Allah dengan tidak menggunakan pakaian mewah. Shalat istisqa mirip dengan shalat dua hari raya Iedul Fitri dan Iedul Adha dan dikerjakan di waktu yang sama yaitu awal pagi sekitar Jam 6 hingga Jam 8 pagi.
Baca selengkapnya »

Inilah Kunci Surga

Seorang yang telah mengikrarkan syahadat maka ia harus mencintai Allah di atas segalanya dan mencintai segala sesuatu dalam rangka mencintai Allah SWT. Firman Allah, “ Dan di antara manusia ada orang-orang yang mengambil tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat mencintai Allah di atas segala-galanya.”(QS. Al Baqarah : 165).
Baca selengkapnya »

SIRAH NABAWIYAH

Logika Dakwah: Melanjutkan Agenda Pemimpin Sebelumnya, Bukan Meninggalkan, Apalagi Menggantinya

Betapa tidak, bukankah dakwah yang kita gelorakan adalah dakwah yang syumuliyah mutakamilah, di mana politik merupakan bagian yang sangat penting di dalam berdakwah? Dan bukankah pula sedari awal kita sudah dikenalkan dengan apa yang disebut dengan siyasatud-da’wah?? Lalu kenapa mesti dipilah-pilah dan dipisah-pisah lagi.
Baca selengkapnya »

Hubungan Antara Aisyah RA dengan Ali Bin Abi Thalib RA

Intinya, hubungan antara ummul mukminin Aisyah RA dengan Ali bin Abi Thalib RA adalah hubungan yang sangat baik, baik pada zaman Rasulullah SAW masih hidup, maupun setelah Rasulullah SAW wafat. Meskipun di antara keduanya terkadang, sekali lagi terkadang, terjadi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah, dan meskipun di antara keduanya pernah terjadi “suatu peperangan”.
Baca selengkapnya »

Rembulan Dalam Pangkuan

Ibnu Umar ra. Menuturkan, “saat itu, disekitar mata Shafiyyah tampak lembam, sehingga Rasululah menanyakannya, ‘kenapa di sekitar matamu ada lebam seperti ini?’, Shafiyyah menjawab, ‘waktu itu aku berkata pada suamiku dulu, Sesungguhnya aku bermimpi melihat bulan turun ke pangkuanku. Tiba tiba dia menamparku seraya berkata, ‘apakah engkau menginginkan Raja Yastrib itu?’, Shafiyyah berkata kepadaku (Ibnu Umar), ‘hingga saat itu tidak ada orang yang lebih aku benci dari pada Rasulullah, bagaimana tidak, beliau telah membunuh ayahku dan suamiku. Akan tetapi Rasulullah tidak berhenti untuk meminta maaf kepadaku dan mengutarakan alasannya, “wahai Shafiyyah, masalahnya, Ayahmu memprovokasi seluruh kekuatan Arab untuk membunuhku, lalu begini, begini...., beliau terus memahamkanku sehingga rasa benciku kepada beliau benar benar hilang’”
Baca selengkapnya »

Kenangan paseduluran