Seusainya perang Badar petugas logistik
mengamati pejuang-pejuang Islam yang terluka. Sambil diobati juga
diberikan makan atau minum yang dibutuhkannya. Saat sedang melayani
orang-orang yang memerlukan bantuannya. Petugas ini mendengar ada
suara orang yang meminta air karena rasa haus yang mencekik. Petugas
tersebut mendatanginya. Namun ketika akan dituangkan pada mulut orang
itu terdengar pula suara orang yang juga berhajat pada air. Lalu
orang pertama yang membutuhkan air itu berujaar pada petugas logistik
itu. “Berikan air itu padanya, dia lebih membutuhkannya ketimbang
diriku!”. Maka petugas itu segera menemui orang kedua itu. Akan
tetapi ketika akan diminumkan air, orang kedua ini mendengar ada
arang lain yang juga membutuhkannya. Orang keduapun mengatakan,
“Berikan air itu padanya dia lebih butuh daripada saya”. Petugas
itupun segera mencari-cari sumber suara tadi. Rupanya orang ketiga
yang membutuhkan air ketika ia jumpai sudah meninggal dunia. Secepat
kilat peetugas itu mendatangi orang kedua tadi. Akan tetapi keduapun
telah meninggal dunia. Iapun berlari menjumpai orang pertama.
Begitupun orang pertama, ia dapati telah meninggal dunia.
Itulah kisah manusia yang diabadikan
sepanjang sejarah. Mereka ditautkan oleh perasaan kolektif pada
dirinya masing-masing. Perasaan bahwa saudaranya adalah dirinya.
Merasa sakit apabila saudaranya sakit. Dan bahagia bila saudaranya
bahagia. Saudaranya adalah cermin sejati bagi dirinya. Perasaan
kolektif ini bagaikan saraf yang memadukan aneka ragam organ dalam
tubuh. Dengan itu setiap organ mempunyai investasi pada satu gerakan
organ lainnya.
Ukhuwah merupakan wujud perasaan
kolektif dalam bermuamalah antar manusia. Ia menyatukan irama hati
dari bermacam-macam orang. Ia akan menjadi harmonika yang merdu dalam
sebuah simponi. Alunan simponi yang indah ini dapat menjadi suatu
kekuatan besar dalam membangun umat.
Umar bin Khathab menangis terisak-isak
tatkala ia mengetahui ada rakyatnya dirundung kelaparan. Umar
mengangkat sendiri bahan pangan untuk rakyatnya yang sedang
menderita.
Khalifah Sulaiman Al-Manshur tidak bisa
berdiam diri ketika ia mendengar ada seorang muslimah yang teraniaya
di Byzantium. Khalifah mengajak rakyat untuk membebaskan wanita
tersebut.
Hasan Al-Banna memberikan sokongan yang
besar atas perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonial Belanda.
Al-Imam menerima kunjungan para diplomat Indonesia dengan antusias
dan mengajak para pemimpin Mesir untuk turut mendukungnya.
Demikianlah pengakuan M. Hasan Zein penulis Diplomasi Revolusi di
Luar Negeri.
Itulah perasaan kolektif menjadi
gelombang besar yang dapat menggerakkan sebuah kekuatan umat. Akan
tetapi perasaan kolektif ketika manusia hidup dengan sikap dan gaya
individualistik. Sikap ini menjadi barang langka yang jarang
ditemukan.
Sikap individualistik mendorong manusia
bersikap acuh tak peduli pada urusan orang lain. Bahkan pada urusan
yang bersifat hidup matinya seseorang. Tidak mengherankan pada
pergaulan masyarakat di hari ini tidak lagi mempedulikan apa yang
dialami orang lain. Sebelah rumahnya sedang kesusahan ia tidak
mengetahuinya. Tetangganya sedang merenggang nyawa ia tidak
mendengarnya.
Tidaklah aneh saat ini apabila orang
mengenal tetangganya bukan ketika bercengkerama di rumahnya,
melainkan ia mengetahui tetangganya itu di tempat yang jauh dan
terjadi pada kurun waktu yang cukup lama setelah bertetangga.
Dalam sebuah pesta besar, ada seorang
pria terheran-heran pada kenalannya di pesta itu. Pasalnya, kenalan
barunya itu adalah tetangga sebelah rumahnya. Padahal mereka telah
lama hidup saling bertetangga. Aneh memang tapi begitulah gaya hidup
masa kini.
Islam memandang buruk sikap demikian.
Karena perasaan kolektif menjadi bukti keimanan. Islam mengajarkan
umatnya untuk selalu menjalin perasaan kolektif ini. Ia adalah nadi
dari geliat umat ini
Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak
beriman salah seorang diantaramu apabila tidak mencintai saudaranya
seperti mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Bagi kader dakwah perasaan kolektif ini
tidak boleh berhenti denyutnya. Berhentinya akan berdampak pada
lambannya mobilitas kader untuk mengemban tugas mulia. Juga akan
kehilangan kendali arah sehingga alur roda itu berputar tanpa arah.
Setiap kader wajib merawat dan meningkatkan perasaan kolektif ini
agar ia tumbuh, berkembang dan berbuah.
Ukhuwah, Bahasa Amal
Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah
menceritakan kisah tentang tukang sol sepatu yang menunda pergi
hajinya karena uang yang dipersipakan untuk berangkat ke Baitullah
Al-Haram diberikan pada tetangganya yang kelaparan. Namun banyak
teman-temannya yang berangkat menunaikan ibadah haji melihat tukang
sol sepatu itu berada di tanah suci. Dalam mimpi Ibnul Mubarak
rahimahullah, tukang sol sepatu itulah orang yang termasuk diterima
ibadah hajinya oleh Allah SWT.
Kisah diatas tentu bukan persoalan
maqbulnya ibadah haji yang dilakukannya. Akan tetapi yang saya
maksudkan disini adalah sikap arif tukang sol sepatu itu. Sikapnya
yang penuh perhatian pada nasib tetangganya, nasib saudaranya sesama
muslim. Ia rela menyerahkan harta yang ia kumpulkan dari jerih
payahnya berbulan-bulan kepada saudaranya sesama muslim.
Begitulah bahasa amal. Ia merupakan
amalan bukan sekedar teori. Artinya sikap itu dilakukan secara
refleks tidak perlu kalkulasi yang amat teliti. Tukang sol sepatu itu
tahu betul apa yang mesti diputuskan pada saat-saat yang tepat.
Ukhuwah adalah bahasa amal bukan bahasa
teori atau konsep. Sikap ini pancaran kebiasaan yang berasal dari
sinar keimanan. Sinar keimanan yang lahir dari pembiasaan watak dan
prilaku para pemiliknya. Karena itu, sikap ini tidak dapat dihambat
oleh berbagai kalkulasi material. Ia begitu lancar untuk bertindak
cepat memutuskan pilihan-pilihan sulit baginya. Ia tidak mempedulikan
keuntungan apa yang bakal diperoleh malah ia rela mendapatkan
kerugian bagi dirinya asalkan saudaranya meraih kebahagian atas
sikapnya. Subhanallah, teramat indah bahasa amal itu.
Dari Mana Kita Memulainya
Seorang teman berbinar-binar matanya
menyiratkan rasa haru dalam hatinya. Ia mengatakan baru saja menerima
telepon dari kawannya yang menanyakan kabar berita tentang diri dan
keluarganya. “Saya senang dan terharu, sekian lama saya tidak
pernah mendengar berita kawan saya. Tiba-tiba, kali ini dia
menyampaikan kabar beritanya dan menanyakan keadaan saya. Rasanya
tali yang putus kembali tersambung”. Ungkapnya gembira.
Bila kita melihat cerita pengalaman
seorang teman tadi. Sepertinya sederhana sekali untuk menyambung lagi
tali persaudaraan yang nyaris putus. Dengan menanyakan kabar teman di
seberang telepon hubungan itu kembali hangat. Kehambaran itu sirna
dengan segera.
Rasulullah SAW. memberikan resep
sederhana untuk dapat mengikat kembali tali-tali yang putus hingga
dapat menghimpun hati-hati yang retak. Beliau mengatakan:
“Sebarkanlah salam, berikanlah makan dan dirikanlah shalat malam”.
Resep ini memang terkesan sangat simple.
Pertama, menyebarkan salam. Dalam
kegiatan ini bisa dijabarkan dengan bermacam-macam perlakuan,
diantaranya bertanya bagaimana kabarnya, keluarganya, istri dan
anaknya? Baik-baikkah mereka. Bagaimana mereka selama ini. Adakah
yang sakit. Adakah yang mendapatkan musibah atau adakah diantara
mereka yang telah dianugerahi Allah kebaikan yang dapat menyenangkan
orang banyak. Dapat saling mendoakan keadaan masing-masing agar
meraih kemudahan dalam menjalani aktifitas hariannya serta
mendapatkan karunia dari Allah sehingga meredam rasa berat dalam
menerima ujian dan cobaan hidup. Dan banyak lagi segudang ungkapan
untuk memulai menyebarkan salam antar sesama kader.
Inti masalahnya adalah bagaimana
menyebarkan salam itu menjadi sebuah media komunikasi antar sesama
kader agar tetap terjalin dengan baik, sehingga mereka tidak
kehilangan informasi dan kendali arah. Komunikasi yang harmonis
dibangun atas dasar hubungan manusiawi yang utuh dari berbagai
dimensi bukan pada hubungan formalitas apalagi hiasan bibir semata.
Menjalin komunikasi yang harmonis ini
menjadi kebutuhan asasi masyarakat modern, karena dengan komunikasi
ini manusia menemukan eksitensi dirinya sebagai makhluk yang multi
dimensional. Makhluk yang dihargai oleh lingkungan sekitarnya. Saat
ini banyak kita temukan orang yang kehilangan rasa, termasuk rasa
dalam berkomunikasi ketika bergaul antar sesama. Makanya banyak orang
berupaya mencari tempat kongkow-kongkow hanya sekedar mendapatkan
sebuah tali komunikasi yang tidak diikat oleh formalitas kehidupan.
Sehingga mereka bisa berbicara dan tertawa lepas yang selama ini
tidak mereka temukan karena masih dirasakan terdapat dinding pembatas
hati mereka.
Komunikasi yang harmonis bagi
masyarakat barat amat mahal, karena selama ini mereka menjalani
kehidupan ini secara mekanik. Melakoni satu babak kehidupan ke babak
berikut bagai mesin yang rutin berputar. Tanpa seni yang menyentuh
ruang hati manusia yang paling dalam. Kondisi ini membuat mereka
berupaya untuk menemukan format baru dalam berkomunikasi dengan
sesama. Diantaranya mereka mengadakan pasar loakan setiap hari libur
sebagai sarana mereka berkomunikasi. Mereka bisa saling tawar menawar
suatu harga barang yang selama ini mereka jualbelikan dengan mesin
atau robot. Mereka dapat saling menyapa untuk menanyakan dimana
tinggalnya, dari mana asalnya, sudah berapa lama tinggal di daerah
itu dan sapaan lainnya. Dari saling menyapa itulah hubungan yang kaku
diantara mereka mencair seketika, akhirnya mereka begitu akrab satu
sama lainnya.
Abbas Asisi salah seorang murid Hasan
Al-Banna selalu membuka komunikasi dengan banyak orang yang ia
jumpai. Melalui komunikasi itulah ia membuka peluang dakwah di hati
mitra bicaranya. Bahkan pernah ia kesulitan dengan apa memulai
berkomunikasi kepada orang yang ada di hadapannya. Namun ia menemukan
juga jalan ke arah itu. Yakni ia menginjak kaki orang tersebut
sehingga orang itu memarahinya. “Apa matamu buta? mengapa kamu
injak kaki saya”, hardik orang tersebut. Abbas Asisi menjawab,
“Maaf tuan, mata saya memang rabun sehingga saya tidak begitu jelas
melihatnya”. Dengan pengakuan itu orang tersebut malah meminta maaf
atas ucapannya tadi lalu perbincangan akhirnya berlanjut pada
tema-tema lainnya yang kemudian menyentuh tema-tema dakwah.
Begitulah mumpuninya komunikasi dalam
bergaul antar sesama yang dapat meluluhkan hati-hati yang keras
membatu. Orang bijak mengatakan, ‘berkomunikasilah karena ia seni
kehidupan‘.
Seorang sahabat merasa tersanjung
ketika Rasulullah SAW jalan beriringan di sampingnya sambil beliau
menanyakan keadaannya. Sikap ini menunjukkan betapa manisnya
pergaulan yang dilakukan Rasulullah SAW. kepada sahabatnya begitupun
sebaliknya.
Media berkomunikasi saat ini sangat
banyak apalagi kemajuan teknologi dapat menunjang pelaksanaannya.
Berkomunikasi dapat dilakukan melalui silaturrahmi atau
mengunjunginya. Dengan mengunjungi kita dapat menuangkan berbagai
suasana hati. Dapat saling bertatap muka, saling bertegur sapa dan
saling mengekspresikan ruat wajah yang dapat disaksikan oleh mitra
bicara.
Berziarah atau mengunjungi saudaranya
yang muslim merupakan sebagian tanda keimanan. Karena ia adalah hak
sesama muslim. Dengan mengunjungi kita dapat berkomunikasi dan
berbagi perasaan, pengalaman, pelajaran serta berbagi lainnya.
Rasulullah SAW. bersabda: “Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia
silaturrahim”. (H.R. Muslim)
Dan komunikasi dapat pula dilakukan
lewat piranti teknologi canggih sekarang ini, bisa melalui telepon,
internet, email, surat atau media-media lainnya.
Kedua, memberi makan (hadiah). Hadiah
pertanda penghargaan dan kasih sayang. Ia wujud atensi yang dalam.
Karenanya hadiah jangan dipandang dari nilai nominalnya akan tetapi
lihatlah bahwa adalah ekspresi kecintaan.
Rasulullah SAW. bersabda: “Salinglah
berbagi hadiah niscaya kalian akan saling mencintai”. (H.R.
Tirmidzi)
Hadiah sebagai media mengungkapkan kata
hati pada seseorang dalam kondisi tertentu. Maka tidaklah naif
memberikan hadiah yang sepertinya tidak begitu bernilai. Sebab ia
adalah bentuk visualisasi dari atensi yang besar. Oleh karena itu
tidak perlu merasa malu untuk memberikan hadiah yang tidak mewah atau
mahal. Malah dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ada seorang
sahabat Nabi SAW. yang memberikan hadiah berupa sekerat kurma kepada
saudaranya, Nabi SAW. mendengar berita itu tersenyum bahagia. Duhai
mulianya ia yang mau memberikan hadiah meski kondisi hidupnya dalam
kesulitan.
Memang alangkah bagusnya bila mampu
memberikan hadiah yang menarik serta bernilai lebih. Apalagi hadiah
yang diberikan kepada saudaranya sangat ia sukai.
Firman Allah SWT.
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta
yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya”. (Ali Imran: 92)
Ketiga, melaksanakan shalat malam
(doa). Persoalan hati manusia adalah persoalan yang penuh misteri.
Hati merupakan ruang yang luas lagi dalam. Ia bagaikan samudera
lepas. Sedikit sekali manusia yang dapat menyelami samudera hati.
Muamalah antar manusia juga bagian dari
gerakan hati. Ia akan terkait tatkala hatinya sudah tertambat. Ia
akan terurai ketika hatinya liar. Permasalahannya tampaknya rumit dan
jelimet. Akan tetapi menjadi sederhana ketika conecting langsung pada
pemiliknya. Dialah Allah Pemilik hati manusia yang mampu
membolak-balikan gerakan hati secara dratis.
Menjalin hubungan langsung pada si
Empunya hati manusia secara rutin dapat menjadi sebuah kekuatan besar
yang mampu menghimpun aneka ragam hati manusia. Bahkan Dia dapat
mengendalikan hati-hati yang liar. Hubungan dengan Sang Penakluk Hati
diantaranya dapat diwujudkan dengan panjatan doa untuk diri dan
saudaranya.
Doa menjadi media perantara untuk
merajut hati yang retak. Melancarkan sumbatan-sumbatannya. Untuk
mencapai sasaran tersebut, Hasan Al-Banna mengajak para pengikutnya
untuk membaca doa Rabithah selepas mengikuti majelis pertemuannya.
Sebagai upaya mendayagunakan kekuatan doa untuk mengikat dan
menyatukan hati manusia. Disamping itu agar hati yang kering lagi
tandus menjadi basah dan subur.
Semua resep sederhana di atas akhirnya
berpulang pada satu kalimat. Ibda’ binafsik. Mulailah dari darimu
sendiri. Artinya setiap individu segera untuk memulainya, menjadi
pelopor. Tidak perlu menunggu orang lain memberi aba-aba untuk
memulainya. Apalagi menanti siapa yang akan memulainya. We are first
begining. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar